Harian Proyek - Marmer, identik dengan barang mewah dan mahal sehingga
hanya sedikit orang mampu memilikinya. Hadirnya perabotan yang terbuat dari
batu khas ini dalam rumah, seperti meja makan atau lainnya bisa menunjukkan
status ekonomi pemilik rumah tersebut. Maklum, untuk menemukan bahan baku
perabotan ini bukanlah pekerjaan gampang. Benda ini merupakan batuan alam
yang terbentuk secara alamiah di perut bumi, akibat tekanan dan perubahan
suhu selama ratusan bahkan ribuan tahun.
Karena itu jika ada orang kreatif yang berhasil
membuat batu marmer (marmer buatan) dengan penampilan dan kekuatan
menyerupai marmer asli dari alam adalah sesuatu yang cukup menghebohkan.
Penemuan ini membuka kesempatan bagi penggemar marmer untuk memiliki
perabotan berbahan baku ’batu mulia’ di rumahnya dengan harga
relatif terjangkau. Sementara bagi penemunya sendiri, jelas merupakan ladang yang bisa memberikan
rezeki untuk hidup sehari-hari.
Adalah Warsimin Adiwarsito, lelaki sederhana dari Desa
Mlese, Kecamatan Ceper, Klaten, Jawa Tengah yang berhasil membuat marmer
tiruan. Keindahan dan kekuatannya tak kalah dengan marmer alam. Jika melihat
penampilannya, mungkin siapa pun sulit percaya, pasalnya lelaki lugu yang
keunggulan produknya telah diakui oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) ini ternyata tak tamat Sekolah Dasar.
Ide yang mendorong semangat Warsimin untuk membuat marmer
tiruan berawal dari pemahamannya tentang mahalnya harga barang ini. Ketika
itu, sekitar awal tahun 80-an, lelaki ulet ini adalah pedagang barang antik
yang sering keluar masuk desa untuk berburu barang antik. Dari pekerjaannya
ini, ia tahu perabotan dari marmer ternyata mahal harganya dan banyak
dicari orang. Warsimin kemudian berpikir, alangkah menguntungkannya
seandainya ia bisa membuat marmer tersebut.
Bila kebanyakan orang hanya berpikir ’seandainya’,
Warsimin justru berusaha mewujudkan gagasan tersebut dalam tindakan nyata.
Mulailah Warsimin yang tak tahu menahu tentang geologi ini melakukan
serangkaian percobaan di rumahnya sendiri.
Berdasarkan kira-kira, Warsimin selanjutnya meramu
beberapa bahan tertentu menjadi satu setelah digiling halus. Tak ada alat
canggih yang memudahkan pekerjaannya. Prosesnya benar-benar manual dan
nyaris primitif. Sebagai perekat ramuan tersebut, Warsimin menggunakan
putih telur. Ini diilhami dari cerita-cerita yang pernah ia dengar bahwa
konon batu-batu penyusun Candi Borobudur dan Prambanan dilekatkan satu sama
lain dengan telur.
Selama lebih dari setahun melakukan percobaan ini,
banyak bahan yang sudah dihabiskannya. ”Termasuk lebih dari
1.200 butir telur itik”, ujarnya. Selama kurun waktu itu, hanya kegagalan
yang ia temui.
Bahkan harta bendanya nyaris habis untuk usaha yang nampaknya hanya akan
berujung kesia-siaan itu. ”Saya sampai dianggap sinting oleh
tetangga dan bahkan keluarga sendiri”, kenangnya.
Warsimin yang saat itu harus menghidupi empat anak
nyaris putus asa. Suatu hari, kira-kira awal tahun 1982, dengan sisa
semangat yang ada, ia menjual beberapa lusin piring yang merupakan harta
benda terakhirnya. Ia ingin mencoba sekali lagi. ”Saya
berpikir, kalau Tuhan menghendaki, pasti akan berhasil”, katanya. Tetapi bila tetap gagal berarti bukan
itu jalan hidupnya. ”Semalaman saya berdoa sambil berpuasa agar
kali ini benar-benar berhasil”, katanya. Paginya ia melaksanakan ujicoba
yang ia tetapkan sebagai percobaan terakhir. Ketika beberapa saat kemudian
adonan yang ia
cetak mengering, Warsimin seolah tak percaya pada apa yang dilihatnya.
Sebuah lempengan yang mirip dengan marmer alam, apalagi setelah digosok
kilap lembutnya seperti marmer asli keluar.
Hari berikutnya, marmer buatannya tersebut dibawanya
ke sebuah pasar seni di Yogyakarta dan dibeli seseorang seharga Rp 150
ribu. ”Tuhan telah menjawab doa saya. Pekerjaan sebagai penghasil marmer
buatan telah ditunjukkan pada saya”, katanya bersyukur. Uang hasil penjualan marmer
pertamanya itu kemudian dibelikan bahan-bahan dan peralatan tambahan untuk
pembuatan yang lebih banyak. ”Saya sudah menemukan
ramuan dan cara menghasilkan marmer buatan yang tepat”, ujar Warsimin.
Seperti diduga sebelumnya, marmer buatan Warsimin
cukup diminati konsumen. Buktinya, ia mengaku banyak order yang masuk.
Konsumen yang ingin rumahnya berlantai atau berdinding marmer, atau ingin
memiliki perabotan terbuat dari marmer namun dengan harga terjangkau,
datang memesan ke Warsimin.
Sebagai perbandingan harga, marmer buatan berbentuk
bundar untuk daun meja berdiameter 100 cm, harganya Rp 200 ribu, sementara
marmer alam bisa jutaan rupiah. Padahal, kalau diamati, antara marmer alam
dan marmer asli buatan Warsimin sulit dibedakan.
Untuk lebih meyakinkan pasar tentang mutu marmer
buatannya, Warsimin mempunyai trik tersendiri. Ia mengirim contoh marmer
produksinya untuk dibandingkan dengan marmer alam kepada Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 1986. Menurut hasil uji
laboratorium LIPI melalui Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi di
kotanya, disebut bahwa marmer buatan Warsimin ini memiliki beberapa
kelebihan dibanding marmer alam. Antara lain kekerasannya tercatat 3 –
5 skala Mohs,
sementara marmer alam hanya 3 – 4 skala Mohs, berat
jenisnya 2,588 sedangkan marmer asli hanya 2,435. Kelebihan lainnya, warna
dan pola marmer buatannya bisa diatur sesuka hati. Sedangkan marmer asli
tidak. Bagian dalam marmer buatannya ini juga bisa dimasukkan nama, logo, gambar
wayang dan bahkan foto sesuai keinginan pemesan.
Selama 13 tahun menekuni usaha pembuatan marmer,
menurut Warsimin, produknya sudah melanglang ke banyak tempat. Tidak hanya
dikenal di tanah air tapi juga sudah merambah ke mancanegara. Beberapa
importir dari Inggris, Jerman, Italia, Singapura dan belakangan Brunei juga
banyak yang memesan. Kebanyakan marmer tersebut dibawa turis yang mampir ke
rumah atau tempat produksi milik Warsimin.
Demikian kisah Warsimin Adiwarsito dengan segala kegigihannya dalam membuat marmer buatan. Semoga menginspirasi buat kita semua.